PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN DI BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KELUARGA BERENCANA KOTA SURABAYA

Authors

  • Muhammad Muhammad

DOI:

https://doi.org/10.15642/al-hukama.2015.5.1.206-225

Keywords:

Hukum Islam, Perkawinan, Pendewasaan Usia.

Abstract

Abstract: Implementation of maturity age of marriage in BAPEMAS (Social Service Institution) and KB (Family Planning) in Surabaya is done by delaying the age of marriage from the provision of the marriage Law No. 1 of 1974 and Islamic Law Compilation (KHI) which has allowed the implementation of marriage at 16 years for woman and 19 years for man to 20 years for woman and 25 years for man. The reasons for the need to postpone or maturity age of marriage is that each pair has had a good maturity of the physical, psychological, social and economic readiness before entering marriage that aims for the creation of marital stability so that the failure of a marriage can be avoided. Although the UUP No. 1 of 1974 and KHI have set the term of age that are allowed to perform marriage, but the view of the implication that may result from marriage conducted under the age of 20 years, so that the mature age of marriage is necessary to realize the happy and prosperous family. Muslim jurists specify a limit age of maturity is a legal benchmark with certain signs of puberty in male and female. However, in order to form a sakinah, mawaddah, and rahmah family, the provision of a limit age for the reason of maslahah as well as preventive measure from all sorts of negative effect of marriage which is also the interpretation of sadd al-dzari’ah.

Abstrak: Pelaksanaan Pendewasaan Usia  Perkawinan di BAPEMAS dan KB Kota Surabaya adalah dengan menunda usia perkawinan dari ketentuan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI yang telah mengizinkan pelaksanaan perkawinan pada usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki menjadi 20 tahun bagi perempuan dan 25 bagi laki-laki. Alasan perlunya dilakukan penundaan atau pendewasaan usia perkawinan ialah agar setiap pasangan telah memiliki kematangan baik dari kesiapan fisik, psikis, sosial dan ekonomi sebelum memasuki kehidupan perkawinan yang bertujuan agar terciptanya stabilitas perkawinan sehingga kegagalan perkawinan dapat dihindari. Meskipun UUP Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI telah menetapkan  ketentuan umur yang dibolehkan untuk melaksanakan perkawinan, namun melihat dari adanya implikasi yang kemungkinan ditimbulkan dari perkawinan dilaksanakan di bawah usia 20 tahun, maka pendewasaan usia perkawinan memang perlu dilakukan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Para ahli hukum Islam menentukan batasan usia baligh yang menjadi tolak ukur bolehnya melaksanakan perkawinan adalah dengan batasan usia yang berbeda disertai tanda-tanda  baligh tertentu pada laki-laki dan perempuan. Namun, dalam rangka membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah,  ketentuan  batasan usia sangat diperlukan karena mengandung maslahah, sekaligus sebagai tindakan preventif segala macam dampak negatif perkawinan yang juga merupakan interpretasi dari sadd az-zari’ah.

Downloads

Download data is not yet available.

How to Cite

Muhammad, M. (2015). PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN DI BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KELUARGA BERENCANA KOTA SURABAYA. AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law, 5(1), 206–225. https://doi.org/10.15642/al-hukama.2015.5.1.206-225

Issue

Section

Articles