MAKNA KEDEWASAAN DALAM ‎PERKAWINAN

Authors

  • M Ghufron UIN SUNAN AMPEL SURABAYA Jalan Ahmad Yani No.117, Wonocolo, Jemur Wonosari, Wonocolo, Kota SBY, Jawa Timur 60237

DOI:

https://doi.org/10.15642/al-hukama.2016.6.2.319-336

Abstract

Abstract: In a marriage, the bridegroom’s maturity is one of the considerations of many parties especially for the state official. Maturity should be owned by each spouse since it is deemed necessary to determine the happiness of the family. However, in term of law itself provides many different provisions concerning with the minimum age of consent, it has no mutual understanding about the agreed boundary between one law and another. Because of that, this paper further examines the meaning of maturity according to law and custom. The study is carried out to find the meaning of maturity in a marriage that is expected to contribute to the policy makers of law. Because of that, the author uses a juridical, philosophical, and sociological perspective in viewing the meaning of maturity in a marriage. Legally, a person can perform the marriage if his/her age has already reached the limit prescribed by law. In sociological sense, the bridegroom is supposed to understand the social responsibility. It can surely lead the family to the goodness and responsibility to community at large in maintaining peace through household. While the philosophical aspect of maturity hopes that the bridegroom is quite ready to face the challenge. In addition, it is expected that the emerging wisdom of the maturity can help to illuminate and make everything in their life as a lesson for the next action.

Abstrak: Dalam suatu perkawinan, kedewasaan para mempelai menjadi salah satu pertimbangan banyak pihak, terutama penyelenggara negara. Kedewasaan pasangan dipandang perlu dimiliki setiap pasangan yang hendak menikah karena nantinya akan menentukan kebahagiaan rumah tangga. Namun, dari sisi undang-undang sendiri, banyak memberikan ketentuan yang berbeda-beda tentang batas usia dewasa, tidak ada kesepakatan batasan antara undang-undang yang satu dengan yang lain. Untuk itu, tulisan ini mengkaji lebih jauh makna kedewasaan itu dengan melihat makna kedewasaan menurut undang-undang dan  adat masyarakat. Telaah ini dilakukan untuk menemukan makna kedewasaan dalam perkawinan sehingga diharapkan dapat memberi sumbangan kepada pembuat kebijakan perundang-undangan. Karena itu, penulis menggunakan perspektif yuridis, filosofis, dan sosiologis dalam melihat makna kedewasaan dalam perkawinan. Secara yuridis, Seseorang dapat melaksanakan perkawinan apabila usianya telah mencapai batas-batas yang telah ditentukan oleh undang-undang perkawinan. Kedewasaan dalam arti sosiologis menghendaki agar mempelai paham seutuhnya tanggung jawab sosial. Tentunya dapat membimbing keluarga pada kebaikan dan bertanggung jawab terhadap masyarakat secara luas dalam memelihara ketentraman melalui rumah tangga. Sedangkan kedewasaan dalam aspek filosofis mengharapkan agar para mempelai menjadi pribadi yang utuh dalam menghadapi tantangan hidup dalam rumah tangga, baik yang bersifat semu maupun nyata. Selain itu, diharapkan pula kebijaksanaan yang muncul dari kedewasaan tersebut dapat membantu menerangi dan menjadikan segala hal dalam hidup sebagai pelajaran bagi setiap tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.

Kata kunci: kedewasaan, yuridis, filosofis, dan sosiologis

Downloads

Download data is not yet available.

Published

2016-12-30

How to Cite

Ghufron, M. (2016). MAKNA KEDEWASAAN DALAM ‎PERKAWINAN. AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law, 6(2), 319–336. https://doi.org/10.15642/al-hukama.2016.6.2.319-336